16 July 2010

Kekeliruan Di Malam Nisfu Syaaban


Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an
Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.(QS. Ad Dukhan: 3-4)
Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346)

Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an.” (QS. Al Baqarah:185). Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Lailatul Qadr.” (QS. Al Qadr:1)

Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a
Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).
Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20).
Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam nishfu sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)
Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam nishfu sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamatau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam nishfu sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini.
Silakan lihat penilaian kelemahan beberapa hadits mengenai malam nishfu sya’ban di sini.
Apakah shalat Alfiyah adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam nishfu sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam nishfu sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Ibnu Abul Hamroo. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam nishfu sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika dating tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam nishfu sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

16 Teguran:

HA HA HA HA
SAYA PERCAYA BAHWA PENULIS ADALAH ORANG CERDIK PANDAI
DARI PADA CARI KESALAHAN ORANG LAIN
MENDING MENG AMAL KAN APA YANG ANDA KETAHUI
BARANG KALI ANDA SUDAH BISA MENG ISLAM KAN 1 ORG, 2 ORG, 100 ORG, 1000 ORG?
ATAU MENYANTUNI 1000 ANAK YATIM?
ATAU MENGANGKAT HARKAT 1000 ORANG MISKIN DAN TERTINDAS?

Sesungguhnya orang Islam yang berilmu dan beriman tidak akan bercakap seperti mana yang anda cakap yang penuh dengan hujjah akal semata.

Tahukah anda bahawa apa yang saya tulis bukan tulisan saya atau tulisan kosong semata tetapi ianya adalah tulisan yang berisikan ilmiah dan bersamanya fakta hujjah daripada Quran dan Sunnah. Mengapakah dengan mudah mengatakan bahawa saya mencari kesalahan orang lain?

Tulisan di atas merupakan tulisan yang dinukilkan daripada kitab-kitab ulama zaman silam. Bagaimana mungkin orang seperti saya dengan senang menghukum orang tanpa melihat tahap ilmunya? Tulisan itu adalah secara umum. Jika tidak puas hati, sila ke blog penulis asal bukannya saya!

kalo ada yg benar, mengapa harus mengikuti yang salah???? kalo ada dalil/tinjauan dari para ulama salaf, mengapa kita ragu? kalo tahu yg benar, dan kebenaran itu disebarkan, kita wajib mengikuti....
masalah islam itu kompleks, jadi harus dilihat satu per satu dan dikondisikan sesuai dengan bab masalahnya... tulisan di atas alhamdullah bagus, comment yang pertama juga bagus/kritis ... tapi keduanya tidak koheren/nyambung.. tempatkanlah segala sesuatu sesuai tempatnya...baik tulisan atau comment yang pertama wajib direnungkan oleh umat islam, jadi tidak perlu mendebatkan mana yg lebih utama/penting...
letakkanlah sesuatu sesuai dengan tempatnya....

Jazakallah khairan kepada umar kerana memberi komentar yang baik untuk dijadikan muhasabah bersama. Terus-terang, pada point yang kedua mungkin enta boleh rujuk semula kepada penulis yang asal.

Ana berpendapat mungkin penulis ingin meletakkan pelbagai pendapat mengenai perkara ini. Kemudian beliau ulas akhirnya apakah solusi daripada perkara ini.

Wallahu'alam.

assalamualaikum....

Rasanya terdapat kesilapan dalam menukilkan nama orang yang mula-mula menghidupkan malam nisfu sya'ban dengan mengerjakan solat alfiyah.

Namanya bukan BABIN ABUL HAMROO , tapi yang sebenar ialah IBNU ABUL HAMROO / IBNU ABIL HAMROO.

Ejaan dalam arab sebagaimana yang dinukilkan dalam kitab al-Bid'uu al-hawliyah :

بابن أبي الحمــراء

Maka huruf 'ba' diawal itu bukanlah ejaan namanya.tetapi ianya adalah huruf jar dan hamzah /alif selepasnya adalah hamzah wasal yang mana ianya tidak disebut sekiranya bersambung dengan huruf lain samada sebelum atau selepasnya.

Mohon diperbetulkan.Email pembetulan telah dihantar ke web asal dan al-hamdulillah ia telah diperbetulkan.


Wassalam

Jazakallah Khairan Kathira ya ustaz..Ana dah betulkan. Insya Allah sabtu ni kita ketemu juga..heheh

jazakallah khoir keteranganya, krn di negara kami bnyk yg melakukanya...

Nisfu sya'ban itu bid'ah! Jelas dan terang benderang! Segala yg bid'ah ditolak, kecuali oleh orang2 bebal dan bengal karena terlanjur dilakukan turun temurun. Memang Islam hanya untuk orang berakal, bukan orang2 bengal. Tulisan di atas lengkap menyertakan dalil dan nash, itu sudah lebih dari cukup, siapa yg menolak, maka dipastikan dia bukan Islam, atau orang Islam yg masih bodoh.

apakah tidak boleh meremaikan malam nisfu sya'ban?
meski itu tidak ada dalilnya?
meski tidak ada dalilnya, tp tidak ada dalil yang melarang juga kan?

hehe kawan, mau nunggu seluruh umat berstatus islam untuk memperdebatkan ini? alhamdulillah gabisa. yuk tengok al anfal ayat 46 :)

Subhanallah ... Saya sedang memerlukan tulisan ini karena malam ini saya terima banyak pesan di HP supaya melakukan ibadah di malam nifsu sya'ban ...

jazakallah khoir keteranganya, semoga Allah SWT merahmati antum...

menurut logika ana klu udah ada malam Nishfu Sya’ban ngapain kita susah2 nyari malam lailatul qadar ya

Agama Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW dan merupakan tuntunan hidup yang bersifat universal. Mengingat kemajemukan budaya manusia, tidaklah heran kalau ada tradisi turun-temurun yang ternyata tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bila ingin menerapkan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Al Quran dan hadis2 yang shahih; tentunya ada banyak tradisi yg harus kita tinggalkan. Doakan lah nenek moyang kita agar ALLAH mengampuni kekeliruan mereka; bukan meneruskan kekeliruan dengan dalih meneruskan tradisi.

Tidak ada tuntunan yang pasti.. Mending ngerjakan yang pasti2 saja.. Sholat jamaah di masjid.. Puasa yg jelas2 tidak dianjurkan.. Dan punya amalan kepada saudara2 kita yang membutuhkan..

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More