Selamat Datang Ke Blog Tajdid Dakwah

Firman Allah S.W.T. di dalam Surah 'ali-Imran ayat yang ke 190 hingga 191:

Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan pada pertukaran malam dan siang, ada tanda-tanda (kekuasaan, kebijaksanaan dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang yang berakal.

(Iaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil berkata): Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab Neraka.

21 February 2010

Maulid Nabi dalam Perspektif Sejarah

Oleh Prof K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.a (Sedutan bukunya: Islam masakini)


Dalam pengajian-pengajian maulid, para muballigh di surau-surau sering mengumandangkan ucapan-ucapan yang diklaim sebagai sabda Nabi saw. Ucapan-ucapan itu adalah,

"Barangsiapa mengagungkan hari kelahiranku, maka kelak ia akan tinggal di surga bersamaku,"

atau 'hadis' lain seperti,

"Barang­siapa mendermakan satu dirham untuk merayakan hari kelahiranku maka tak ubahnya ia mendermakan emas sebesar Gunung Uhud,"

dan lain sebagainya.

'Hadis-hadis' ini dalam kitab-kitab koleksi Hadis yang muktabar (kitab-kitab yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan Hadis) tidak pernah didapati. Apa­kah gerangan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkan 'hadis-hadis' itu dalam kitab-kitab mereka, atau memang 'hadis-hadis' itu tidak pernah ada karena memang Nabi Muhammad s.a.w. tidak pernah bersabda seperti itu?

Seandainya 'hadis-hadis' itu pernah ada karena Nabi Muhammad saw. pernah bersabda demikian, sedangkan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkannya di dalam kitab-kitab mereka, maka paling tidak ada catatan yang me­nunjukkan bahwa para Sahabat Nabi saw., para Tabi'in, dan para Ulama Salaf (Klasik) pernah mengamalkan maksud 'hadis-hadis' tersebut.

Namun ternyata catatan seperti itu juga tidak ada. Bahkan sampai awal abad ke- 7 hijri belum ada catatan yang menunjukkan adanya ulama atau tokoh sejarah yang mengamalkan maksud 'hadis-hadis' tersebut.

Atau dengan kata lain, sampai awal abad ke-7 hijri belum ada seorang pun yang mengamalkan maksud 'hadis-hadis' tersebut, karena memang 'hadis-hadis' tersebut tidak pernah ada dalam sejarah.

Apabila pada masa belakangan 'hadis-hadis' tersebut beredar di kalangan masyarakat, maka dapat dipastikan bahwa hal itu merupakan bikinan orang-orang belakangan, sehingga menurut disiplin Ilmu Hadis, 'hadis-hadis' maulid tersebut disebut sebagai hadis palsu atau hadis maudhu', karena Nabi Muhammad saw., tidak pernah bersabda demikian.

Al-Malik al-Mudhaffar

Syekh Ali Tantawi (w. 1421 H) dalam kitabnya Rijal min al-Tarikh (Tokoh-tokoh Sejarah) menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi saw., adalah al-Malik al-Mudhaffar.

Ia adalah salah seorang panglima perang pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-­Ayyubi. Gelar al-Malik yang disandangnya tidak menunjukkan bahwa ia seorang kepala negara, sebab kepala daerah pada masa itu juga disebut al-malik.

Al-Malik al-Mudhaffar di samping dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani juga dikenal sebagai pemimpin yang adil dan dermawan.

Sampai al-Qadhi Ibnu Khallikan yang hidup semasa dengannya merasa kagum dengan sifat keder­mawanannya itu. Hal itu karena al-Malik al-Mudhaffar tidak hanya membantu orang-orang miskin, mendirikan rumah sakit-rumah sakit dan penginapan-penginapan gratis, melainkan ia tercatat sebagai orang pertama yang menyediakan air yang berlimpah-ruah pada malam Wukuf di Arafah, padahal pada malam itu semua orang yang sedang menunaikan ibadah haji kesulitan memperoleh air.

Festival Maulid

Sejarawan terkemuka al-Qadhi Ibnu Khallikan menuturkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh al-Malik al­Mudhaffar pada saat itu bukanlah merupakan acara keagamaan seperti layaknya sebuah majelis ta'lim, atau pengajian dan sebagainya. Tetapi lebih tepat disebut sebagai pasar malam, pesta maulid, atau festival maulid.

Kota Irbil di Irak pada saat itu pe­nuh dibanjiri manusia. Mereka datang dari berbagai penjuru kota dan daerah-daerah sekitarnya seraya membawa barang-­barang dagangan dan hasil kerajinannya. Tenda-tenda juga dipasang di sana-sini, dihiasi bendera umbul-umbul dan lam­pu-lampu berwarna-warni. Perayaan ini dimulai pada bulan Shafar. Dan sejak saat itu sekolah-sekolah diliburkan. Para artis baik penyanyi, pemain drama dan lain-lain juga tidak ketinggalan setiap malam ikut ambil bagian untuk menam­pilkan kebolehannya. Sementara al-Malik al-Mudhaffar tiap malam berkeliling ke arena-arena pertunjukan sambil mem­bagi-bagikan hadiah.

Puncak acara perayaan maulid itu diadakan pada tanggal delapan atau dua belas Rabiulawal. Pertama kali, ribuan binatang ternak, terdiri dari domba, sapi dan onta diarak keliling arena, diiringi bunyi-bunyian genderang, rebana, terompet dan sebagainya, marching band, kalau zaman sekarang.

Sementara orang-orang mengikutinya dari belakang sambil mengibarkan bendera-bendera warna-warni. Sebagian ada yang meniup seruling. Ribuan binatang ternak itu selanjutnya disembelih untuk konsumsi 'perayaan maulid'.

Sesudah sembahyang Isya, al-Malik al-Mudhaffar keluar dari Istana dengan membawa lilin besar. Kemudian diikuti oleh orang-orang banyak, dan semuanya membawa obor. Mereka berjalan berarak-arakan menuju tempat yang biasa dipakai berkhalwat oleh orang-orang sufi.

Esok harinya, al-Malik al-Mudhaffar duduk di panggung kehormatan yang berada di pinggir alun-alun, bersama para pejabat pemerintahan lainnya. Acara perayaan dimulai dengan parade militer. Lalu disusul oleh jamaah orang-orang sufi dan para penyair. Kemudian disusul oleh rombongan pelajar. Dan yang paling belakang adalah rakyat biasa.

Setelah semuanya berkumpul di alun-alun, para ahli pidato tampil satu persatu untuk menunjukkan kebolehannya dalam berpidato. Setelah mereka selesai, kini para penyair satu-persatu membacakan puisi. Sementara al-Malik al-Mudhaffar sudah menyiapkan hadiah-hadiah menarik untuk mereka. Sesudah penampilan­-penampilan itu selesai, acara ditutup dengan makan bersama.

Untuk mengabadikan peristiwa itu, al-Hafidh Ibnu Dihyah menulis buku tentang perayaan maulid, dan buku itu me­rupakan buku yang pertama kali membahas perayaan maulid. Dan itulah tadi peringatan atau perayaan Maulid Nabi yang diadakan pertama kali dalam sejarah. Sedang si empunya ambisi, al-Malik al-Mudhaffar tadi, wafat pada malam Rabu, 18 Ramadhan 630 H.

Kontroversial

Sampai saat ini para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum merayakan maulid Nabi saw. Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Baz (w. 1421 H) berpen­dapat bahwa mengadakan perayaan maulid Nabi saw., itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw., maupun para Sahabat beliau, begitu pula para Tabi'in dan para Ulama Salaf. Mem­peringati hari kelahiran Nabi saw., termasuk perbuatan mengada-ada dalam agama, atau menurut istilah yang populer adalah bid'ah. Karena itu hukumnya juga haram.

Sementara ulama lain seperti Syekh Ali Tantawi yang disebut di muka tadi itu, dan juga menjadi pengasuh acara Nur wa Hidayah dalam Televisi Saudi Arabia, begitu pula Syekh Dr. Ahmad al-Syurbashi dalam kitabnya Yas'alunaka fi al-Din wa al-Hayah berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi saw., itu perlu dilihat isinya. Apabila peringatan itu diisi dengan pengajian agama, penerangan tentang sejarah kehidupan Nabi saw., agar ditiru oleh umatnya, maka hal itu perlu dikerjakan. Sebab acara seperti itu pada hakikatnya adalah pekerjaan ma'ruf yang perlu dilakukan setiap saat.

Namun apabila peringatan Maulid Nabi saw., itu diisi dengan acara-acara mak­siat, pemborosan, kemungkaran dan lain sebagainya, maka ­kedua tokoh tadi sependapat bahwa hal itu hukumnya tidak boleh atau haram.

Namun yang perlu dicatat di sini bahwa dalam hal peringatan maulid Nabi saw., itu dibolehkan, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa penggunaan 'hadis-hadis maulid' seperti yang disebutkan di depan itu hukumnya tidak boleh. Sebab menggunakan, menyebutkan atau menyampaikan 'hadis-hadis' tersebut berarti menisbahkan ucapan-ucapan kepada Nabi Muhammad saw, sementara beliau tidak pernah bersabda seperti itu. Perbuatan seperti inilah yang antara lain diancam oleh Nabi saw sendiri dalam sabdanya,

Barangsiapa dengan sengaja mendustakan saya, maka hendaknya ia siap-siap duduk di atas bara api neraka.

Sumber: Al-Ahkam.net

15 February 2010

Manusia Wajib Matang Dalam Berfikir

السلام عليكم ورحمة الله وبركة

Akal pemikiran dalam diri seseorang manusia saya lihat tidak nampak pembangunan diri sekiranya mereka masih berada di takuk lama dan tidak berfikiran jauh jika tidak adanya kaji an terhadap penemuan fakta-fakta yang baru ditemui. Teringat kepada kawan seorang, pelajar MAHSA beliau berkata bahawa "manusia ini hidup untuk apa? Dalam kehidupan, kita diajar dalam konsep kehidupan kepada tiga perkara iaitu membaca, mengaji dan mengkaji."

Jika boleh dihuraikan tiga perkara ini dalam soal pembacaan Al-Quran, membaca adalah cara seseorang itu belajar bagaimana hendak menyebut surah-surah Al-Quran. Apabila sudah adanya asas, dipelajari pula asas tajwid untuk mengaji dan apabila sudah faham terhadap dua asas pertama maka langkah akhir adalah mengkaji yakni memahami isi kandung tafsir Al-Quran. Kesimpulan daripada tiga perkara ini adalah apabila didatangi kita dengan suatu ilmu bukanlah sewenang-wenangnya untuk kita terima bulat-bulat tetapi harus diselidiki dan diteliti agar kita ketahui bahawa ilmu itu bukanlah ilmu yang menyempitkan akal fikiran tetapi meluaskan pemikiran seorang manusia. Sedangkan dalam Al-Quran sendiri telah menyebut jika datang kepada kita suatu berita harus diperiksa terlebih dahulu sama ada sahih atau batil.
Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang seorang fasiq kepada kamu membawa berita, periksalah ia terlebih dahulu. Agar nanti jangan kamu menghukum sesuatu kaum dalam keadaan jahil (terhadap apa yang benar), lantas kamu kemudiannya menyesal atas apa yang telah kamu lakukan.

(Surah Al-Hujurat 49 : 6)
Maka, dengan demikian manusia bukanlah dicipta hanya untuk menerima suatu ilmu dengan satu tiada bantahan atau kritikan. Jika ya, tiada gunalah fungsi akal di dalam penciptaan manusia sebagai sistem operasi manusia yang paling canggih untuk bertindak balas terhadap persekitaran semasa. Terkilan juga apabila membaca mana-mana tulisan yang menyatakan tidak dapat menerima pandangan yang berbeza dan pandangan yang jauh keterbukaan. Sedangkan manusia diciptakan dengan pelbagai perbezaan dari segi perwatakan, perbuatan, pemakaian. Cuma janganlah berbeza terhadap perkara yang telah sepakat di dalam syariat Islam seperti mana yang telah Allah swt sebut di dalam Al-Quran.
Bagi tiap-tiap umat, Kami adakan satu syariat yang tertentu untuk mereka ikuti dan jalankan, maka janganlah ahli-ahli syariat yang lain membantahmu dalam urusan syariaatmu dan serulah (wahai Muhammad) umat manusia kepada agama Tuhanmu, kerana sesungguhnya engkau adalah berada di atas jalan yang lurus. (Surah Al-Hajj: Ayat 67)
Kesudahannya Kami jadikan engkau (wahai Muhammad dan utuskan engkau) menjalankan satu Syariat (yang cukup lengkap) dari hukum-hukum agama; maka turutlah Syariat itu dan janganlah engkau menurut hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (perkara yang benar). (Surah Al-Jathiya: Ayat 18)
Dalam konteks kini, masyarakat sering dibawakan kepada mereka akan berita-berita yang kadang-kadang amatlah bercanggah dengan akal fikiran. Dunia sekarang bukan lagi dunia yang menangkuk air di tepi arus kerana dunia telah mengecapi kemudahan dalam mencari maklumat. Maka, wajar masyarakat pada hari ini meninggalkan kejumudan dan mendekatkan kepada fikrah yang bersih daripada akal yang sempit ke arah akal yang lebih keterbukaan. Di dalam facebook saya, ada yang forward mesej surat berantai dengan mempercayai sepenuhnya terhadap apa yang terkandung di dalam surat tersebut. Disebut di dalam surat tersebut macam-macam iktibar dan wajib forward kalau tidak forward nanti kena musibah. Perkara menampakkan tentang kejumudan akal dalam menilai dan berfikir dengan lebih serius dan berhati-hati.

Perkara ini dilihat dalam keadaan yang was-was dan diragui. Kenapa manusia mudah terpengaruh dengan budaya seperti ini? Al-Quran sendiri mengajar kita supaya berwaspada terhadap perkara seperti ini yang boleh memrosakkan budaya memikir secara rasional.
Dan janganlah kamu berpendirian di dalam sesuatu perkara yang kamu tidak ada pengetahuan mengenainya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu akan dipersoalkan (di akhirat).

(Surah Al-Isra’ 17 : 36)
Lihatlah bahawa Islam bukan diajar supaya taksub atau bertaqlid buta tanpa bersebab kerana ianya akan membawa manusia condong ke arah tidak menerima keterbukaan dalam menerima sesuatu fakta. Sebenarnya, Islam merupakan agama fakta dan hujjah bukannya agama yang boleh dipermainkan atas alasan yang tidak konkrit. Dalam menilai soal fakta dan hujjah perlulah ada panduan dan Nabi saw sendiri telah memberi panduan semasa Hajjatul Wida' setelah pembukaan Kota Makkah iaitu:
Aku tinggalkan untuk kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selagi mana kamu berpegang dengan kedua-duanya; Kitab Allah dan Sunnahku - Hadis Riwayat al-Hakim.
Sekiranya kita berada di jalan Allah pasti kita akan berpegang kepada dua sumber yang sahih ini kerana dengan berpegang kepada dua sumber ini kita akan selamat daripada kesesatan. Oleh itu, dalam mematangkan pemikiran haruslah membudayakan kritis dalam berfikir terutamanya dalam penilaian fakta kerana di dalam masyarakat luasnya tersebar hadis-hadis palsu yang bercanggah dengan Islam. Sesungguhnya Nabi saw amat marah apabila ada orang yang berdusta di atas namanya kerana berdusta di atas nama Nabi saw tidak sama berdusta di atas nama orang lain. Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka. - Hadis Riwayat al-Bukhari
Nabi saw sendiri telah memberi amaran kepada membawa berita yang fasiq yang mana beliau menceritakan berita tersebut kepada orang lain.

Cukuplah bagi seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan segala yang dia dengar. - Hadis Riwayat Muslim

Harus diperingatkan bahawa sesiapa yang menyebarkan berita yang palsu tidak selamat baginya dan seseorang itu tidak layak untuk menjadi ketua kepada masyarakat apabila seseorang itu menceritakan kesemua berita palsu yang dia dengari.
Ketahuilah, tidak selamat seseorang yang menceritakan setiap apa yang dia dengar, dan seseorang tidak menjadi imam (pimpinan) sama sekali apabila dia menceritakan setiap yang dia dengar. - Hadis Riwayat Muslim
Maka, masyarakat seharusnya perlu bergerak ke dimensi jumud ke arah dimensi pemikiran yang luas keterbukaannya atau pemikiran tajdid kerana kita harus menjadi umat yang proaktif, umat yang produktif dan umat yang universal dalam mengharungi gerakan dakyah-dakyah kelompok yang anti kepada Islam. Antaranya adalah gerakan athiest, kristian, yahudi, pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya. Oleh itu, kita harus ke hadapan dalam soal ini agar umat Islam dapat dilihat sebagai umat yang berpotensi dan berwawasan dalam matlamat hidup dan berfikiran dengan lebih jauh keterbukaan serta kurangnya berfikiran secara jumud.

Wallahu'alam.

Ikmal Bin Johari
Kampung Baru, Kuala Lumpur
15 Februari 2010/1 Rabiul Awal 1431 H

03 February 2010

Syiah Pembunuh Sayyidina Husain Di Karbala





Seorang tokoh Islam yang terkenal di Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya "Hazrat Mu'aawiah Ki Siasi Zindagi" bahawa di dalam sejarah Islam, ada dua orang yang sungguh kontroversial. Seorang daripadanya Amirul Mukminin Yazid yang makin lama makin dimusnahkan imejnya walaupun semasa hayatnya beliau diterima baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman itu. Seorang lagi ialah Mansor Al Hallaj. Di zamannya dia telah dihukum sebagai mulhid, zindiq dan salah seorang daripada golongan qaramithah oleh masyarakat Islam yang membawanya disalib. Amirul Mukminin Al Muqtadir billah telah menghukumkan beliau murtad berdasarkan fatwa sekalian ulama dan fuqaha' yang hidup pada waktu itu, tetapi imejnya semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai salah seorang ' aulia illah'.

Bagaimanapun semua ini adalah permainan khayalan dan fantasi manusia yang jauh daripada berpijak di bumi yang nyata. Semua ini adalah akibat daripada tidak menghargai dan memberikan penilaian yang sewajarnya kepada pendapat orang-orang pada zaman mereka masing-masing.

Pendapat tokoh-tokoh dari kalangan sabahat dan tabi'in yang sezaman dengan Yazid berdasarkan riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya menjelaskan kepada kita bahawa Yazid adalah seorang anak muda yang bertaqwa, alim, budiman, saleh dan pemimpin ummah yang sah dan disepakati kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam "Ansabu Al Asyraf" mengatakan bahawa, " Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata : " Sesungguhnya anaknya Yazid adalah daripada keluarga yang saleh. Oleh itu tetaplah kamu berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai'ah kamu kepadanya" (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, m.s. 4).

Sejarawan Baladzuri adalah di antara ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa' Abbasiah. Beliau telah mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di hadapan mereka dan menyebutkan pula sebelum nama Yazid ' Amirul Mukminin'.

Abdullah Ibn Umar yang dianggap sebagai orang tua di kalangan sahabat pada masa itu pula bersikap tegas terhadap orang-orang yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibn Zubair terhadap kerajaan Yazid dan sikap yang begini disebut di dalam Sahih Bukhari bahawa, bila penduduk Madinah membatalkan bai'ah mereka terhadap Yazid bin Muawiyah maka Ibn Umar mengumpulkan anak pinak dan sanak saudaranya lalu berkata, " Saya pernah mendengar Rasulullah S.A.W bersabda, " Akan dipacakkan bendera untuk setiap orang yang curang (membatalkan bai'ahnya) pada hari kiamat. Sesungguhnya kita telah berbai'ah kepadanya dengan nama Allah dan RasulNya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui kecurangan yang lebih besar daripada kita berbai'ah kepada seseorang dengan nama Allah dan RasulNya, kemudian kita bangkit pula memeranginya. Kalau saya tahu ada sesiapa daripada kamu membatalkan bai'ah kepadanya dan turut serta di dalam pemberontakan ini, maka terputuslah perhubungan di antaraku dengannya". (Sahih Bukhari -Kitabu Al Fitan)

Sebenarnya jika dikaji sejarah permulaan Islam kita dapati pembunuhan Sayyidina Husain di zaman pemerintahan Yazidlah yang merupakan fakta terpenting mendorong segala fitnah dan keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak mudah ditolak oleh generasi kemudian. Hakikat inilah yang mendorong lebih banyak cerita-cerita palsu tentang Yazid diada-adakan oleh musuh-musuh Islam. Tentu sekali orang yang membunuh menantu Rasulullah s.a.w yang tersayang-dibelai oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang semasa hayatnya kemudian ditatang pula dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan-keutamaannya di dalam hadis-hadits Baginda- tidak akan dipandang sebagai seorang yang berperi kemanusiaan apalagi untuk mengatakannya seorang soleh, budiman, bertaqwa dan pemimpin umat Islam.

Kerana itulah cerita-cerita seperti Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya, suka mendengar muzik dan menghabiskan waktu dengan penari-penari, begitu juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka bermain dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam kemudian.

Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh Sayyidina Husain? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina Husain dibunuh di Karbala?

Selagi tidak dapat ditentukan siapakah pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya dan terus diucapkan ' Yazidlah pembunuhnya' tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti, maka selama itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang sebagai manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh Sayyidina Husain itu bukan Yazid ? Kemanakah pula akan kita bawakan segala tuduhan-tuduhan liar, fitnah dan caci maki yang selama ini telah kita sandarkan pada Yazid itu ?

Jika kita seorang yang cintakan keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain yang sebenar. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh daripada sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong untuk membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya ditempat yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah awal Islam.

Sekarang marilah kita pergi ke tengah-tengah medan penyelidikan tentang pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala bersama-sama dengan sekian ramai ahli keluarganya.


PEMBUNUH SAYYIDINA HUSAIN ADALAH SYIAH KUFAH

Terlebih dahulu kita akan menyatakan dakwaan kita secara terus terang dan terbuka bahawa pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid tetapi adalah golongan Syiah Kufah.

Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar. Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan dikemukakan nanti kepada dua bahagian :

(1) Bukti-bukti utama

(2) Bukti-bukti sokongan


I. BUKTI-BUKTI UTAMA

Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah yang dibangunkan untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai pesalah dan sebagai penjenayah yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan terbongkarlah rahsia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.

Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahawa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan "At Tawwaabun" yang kononnya menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah kerana kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.

Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan "At Tawaabun" itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun cuba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.

Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan tunggak dalam agama mereka seperti Baaqir Majlisi, Nurullah Syustri dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baaqir Majlisi menulis :

"Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, " Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh "Ketua Pemuda Ahli Syurga" kerana Ibn Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibn Ziad tetapi tidak berguna apa-apa". (Jilaau Al'Uyun, m.s. 430)

Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al'Mu'minin bahawa selepas sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah dan berkata, " Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampunkan kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita ". Dengan itu berkumpullah sekian ramai orang-orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, " Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu ". (Al Baqarah :54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelaran "At Tawaabun".

Sejarah tidak melupai dan tidak akan melupai peranan Syits bin Rab'ie di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Tahukah anda siapa itu Syits bin Rab'ie? Dia adalah seorang Syiah pekat, pernah menjadi duta kepada Sayyidina Ali di dalam peperangan Siffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?

Sejarah memaparkan bahawa dialah yang mengepalai 4,000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain. (Jilaau Al'Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, m.s. 37)

Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiahnya Syits bin Rab'ie dan tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mulla Baaqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal ? Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan daripada pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.

Lihatlah pula kepada Qais bin Asy'ats ipar Sayyidina Husain yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah mendedahkan kepada kita bahawa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya selepas selesai pertempuran ? (Khulashatu Al Mashaaib, m.s. 192)

Selain daripada pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain, kenyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala yang terus hidup selepas peristiwa ini juga membenarkan dakwaan ini termasuk kenyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat dirakamkan oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang- orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau :

" Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-mush di dalam menentang kami ". (Jilaau Al' Uyun, ms 391).

Beliau juga berkata kepada Syiah:

"Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sebarang permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebarang sebab? " (Ibid).

Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau:

"Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka kerana mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami ". (Ibid)

Beliau juga dirakamkan telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: "Binasalah kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya". (Mulla Baqir Majlisi-Jilaau Al'Uyun, m.s. 409).

Daripada kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mulla Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahawa:

(i) Diayah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam menerusi penulisan sejarah bahawa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Siffin dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata kerana pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.

(ii) Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala ke atas Syiah.

(iii) Upacara menyeksa tubuh badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah.

Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah wujud upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahawa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.

(iv) Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian ramai ahli keluarganya walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya kerana sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Zuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tibanya 10 Muharram?

Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas berlakunya peristiwa itu pula berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, " Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka ?" (At Thabarsi-Al Ihtijaj, m.s. 156).

Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau, " Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu sedar bahawasa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu kerana amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu".

Sayyidatina Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya, " Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami belum lagi kering kerana kezalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran...Adakah kamu meratapi kami padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tompokan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun". (Jilaau Al ' Uyun, ms 424).

Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga ke hari ini.

Ummu Kulthum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya, " Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku Husain kemudian tidak membantunya bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari ahli rumahnya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu".

Beliau juga berkata, " Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti". (Ibid, ms 426-428)

Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina Husain pula berkata, " Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami kemudian telah membunuh datukku Ali (Sayyidina Ali). Sentiasa darah-darah kami menitis dari hujung-hujung pedangmu……Tak lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan berterusan menghujani kamu. Siksaan dari langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih ".

Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah bt. Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana Syiah berada.

Dua bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Daripada keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :

1.    Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.

2.    Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.

3.     Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara- saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiahlah yang telah membunuh mereka.

4.     Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung kerana kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.

Mahkamah di dunia ini menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenar di dalam sesuatu kes pembunuhan, iaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan kemuncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat-empat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua mahkamah sebagai kes pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain itu ?


II. BUKTI-BUKTI SOKONGAN

Walaubagaimanapun kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti sokongan supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah :

1. Tidak sukar untuk kita terima mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain apabila kita melihat kepada sikap mereka yang biadap terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam- imam itu dengan menyebar luaskan propaganda- propaganda mereka terhadap tertuduh itu.

Di antara kebiadapan mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudiannya membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.

Di dalam Jilaau Al' Uyun disebutkan bahawa Abdul Rahman Ibn Muljim adalah salah seorang daripada kumpulan yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir. Dia juga telah berbai'ah dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, " Bahawa aku telah berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapamu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang wahai Hasan jika engkau mahu membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau terselamat daripada kejahatannya". (Jilaau Al U'yun, ms 218)

Tetapi setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan perancangan mereka semua akan gagal apabila perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah dipersetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-mush Islam yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah berlaku. Maka segolongan dari mereka telah mengasingkan diri daripada mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang berlaku ini sebanarnya satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat itu dan untuk berselindung di sebalik beliau daripada hukuman kerana pembunuhan Khalifah Utsman.

Sayyidina Hasan pula pernah ditikam oleh golongan Syiah pehanya sehingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula kebiadapannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya dan menarik kain sejadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua tidak lain melainkan kerana Sayyidina Hasan telah bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang Mukmin.

Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya ditujukan juga kepada Imam Jaafar As Shadiq bila seorang Syiah yang sangat setia kepada Imam Jaafar As Shadiq iaitu Rabi' menangkap Imam Jaafar As Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al-Mansur supaya dibunuh. Rabi' telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya menyeret Imam Jaafar As Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam kitab Jilaau Al ' Uyun karangan Mulla Baqir Majlisi.

Di dalam kitab yang sama pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha iaitu Imam yang ke lapan di sisi Syiah, bahawa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah kental dengan perintah Al Makmun. Bagaimanapun diceritakan bahawa selepas dibunuh itu Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung kesan-kesan pedang di tubuhnya.

Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh itu tidaklah hairan golongan yang sampai begini biadapnya terhadap Imam-imam boleh membunuh Sayyidina Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.

Boleh jadi kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenali dengan 'syiah' boleh bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam mereka? Secara ringkas bolehlah kita katakan bahawa 'perasaan kehairanan' yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang kewujudan Syiah itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.

2. Di antara bukti yang menunjukkan tidak ada peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala, bahkan golongan Syiahlah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan ramai orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan persemendaan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas berlakunya peperangan Siffin dan juga selepas berlakunya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala.


Tidak mungkin orang-orang yang bermaruah seperti kalangan Ahlul Bait akan berkahwin dengan orang-orang yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, datuk atau bapa saudara mereka Sayyidina Husain. Hubungan ini selain daripada menunjukkan pemerintah-pemerintah dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah di dalam pembunuhan ini, ia juga menunjukkan mereka adalah golongan yang banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan sentiasa menjalinkan ikatan kasih sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.

Di antara contoh hubungan persemendaan ini ialah:

(1) Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah berkahwin dengan anak Marwan bin Al-Hakam yang bernama Muawiyah iaitu saudara kepada Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm-Jamharatu Al Ansab, m.s. 80)

(2) Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali berkahwin dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri iaitu khalifah yang ke empat daripada kerajaan Bani Umaiyah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 m.s. 69)

(3) Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali iaitu Khadijah berkahwin dengan anak gabenor 'Amir bin Kuraiz dari Bani Umaiyah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, m.s. 68). 'Amir bin Kuraiz adalah gabenor bagi pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.

Cucu Sayyidina Hasan pula bukan seorang dua yang telah berkahwin dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umaiyah bahkan sejarah telah mencatatkan 6 orang daripada cucu beliau telah berkahwin dengan mereka iaitu:-

1.     Nafisah bt Zaid bin Hasan berkahwin dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.

2.     Zainab bt Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah berkahwin dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.

3.    Ummu Qasim bt Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali berkahwin dengan cucu Sayyidina Uthman iaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan berkahwin pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.

4.     Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah berkahwin dengan anak kepada Marwan bin Al-Hakam iaitu Muawiyah.

5.     Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah bt Hasan Al Mutsanna berkahwin dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam iaitu Ismail bin Abdul Malik.

6.     Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah bt Husain bin Hasan bin Ali juga pernah berkahwin dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.


Perlu diingat bahawa semua mereka yang tersebut ada meninggalkan zuriat.

Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husain pula ramai yang telah menjalinkan perkahwinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umaiyah, antaranya ialah:-

(1) Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Selepas beberapa lama terbunuh suaminya Mus'ab bin Zubair, beliau telah berkahwin dengan cucu Amirul Mukminin Marwan iaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak kepada Amirul Mukminin Yazid iaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al -Ansab)

(2) Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga berkahwin dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Uthman.

Sementara anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain iaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan persemendaan dengan keluarga Umaiyah. Di antaranya yang boleh disebutkan ialah:-

Cucu perempuan kepada saudara Sayyidina Husain iaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah bt Ubaidillah bin Abbas bin Ali berkahwin dengan cucu Amirul Mukminin Yazid yang bernama Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Datuk kepada Nafisah ini iaitu Abbas bin Ali adalah di antara orang yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah. Beliau terbunuh dalam pertempuran di medan Karbala .
                                    

Sekiranya benar cerita yang diambil oleh ahli -ahli sejarah dari Abu Mikhnaf, Hisyam dan lain–lain tentang kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintah supaya tidak dibenarkan setitik pun air walaupun kepada kanak–kanak yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain itu sehingga mereka mati kehausan apakah mungkin perkahwinan di antara cucu kepada Abbas ini berlaku dengan cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada tolak bandingnya seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh dilupakan begitu mudah oleh anak – anak cucu orang–orang yang teraniaya di medan Karbala itu? Apa lagi jika dilihat kepada zaman berlakunya perkahwinan mereka ini, bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid, bahkan yang berkuasa pada ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana tidak terdapat satu pun alasan untuk kita mengatakan perkahwinan itu berlaku secara kekerasan atau paksaan.

Perkahwinan mereka membuktikan kisah–kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentera Yazid ke atas rombongan Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu Mukhnaf, Al Kalbi dan anaknya Hisyam dan lain–lain.

Cucu perempuan kepada saudara Sayyidina Husain, Muhammad bin Ali (yang terkenal dengan Muhammad bin Hanafiyah) bernama Lubabah berkahwin dengan Said bin Abdullah bin Amr bin Said bin Al Ash bin Umaiyah. Ayah kepada Lubabah ini ialah Abu Hisyam Abdullah yang dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisamyyah .

Demikianlah serba ringkasnya dikemukakan hubungan persemendaaan yang berlaku di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim terutamanya dari anak cucu Sayyidina Ali, Hasan dan Husain. Hubungan persemendaan di antara mereka sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Ansab dan sejarah. Maklumat lebih lanjut boleh dirujuk dari kitab–kitab seperti Jamratu Al Ansab, Nasbu Quraisy, Al Bidayah Wa An Nihayah, Umdatu Al Thalib Fi Ansab Aal Abi Thalib dan lain–lain .


Saringan oleh www.darulkautsar.net dari artikel asal oleh Maulana Muhammad Asri Yusoff

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More