Selamat Datang Ke Blog Tajdid Dakwah

Firman Allah S.W.T. di dalam Surah 'ali-Imran ayat yang ke 190 hingga 191:

Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan pada pertukaran malam dan siang, ada tanda-tanda (kekuasaan, kebijaksanaan dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang yang berakal.

(Iaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil berkata): Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab Neraka.

29 July 2009

Tidak Wajib Berwudhu’ Setelah Mandi Junub


- Gambar Hiasan -

Ibnu Abdil Barr berkata:

“Orang yang mandi junub, apabila tidak berwudhu’, namun jika dia telah membasahi seluruh tubuhnya, maka ia telah melaksanakan wudhu’, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat … … Jika kamu berjunub, maka mandilah.” (Surah al-Ma’idah, 5: 6) (Allah hanya memerintahkan supaya mandi. Tidak pula berwudhu’). Ini adalah ijma’, tidak ada perbezaan di antara ulama. Namun mereka juga sepakat akan sunnah berwudhu’ sebelum mandi, kerana berdasarkan (mencontohi) perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Selain itu, berwudhu’ lebih mempermudahkan mandi dan menjadikan mandi lebih tersa nikmatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mandi sebagai mengakhiri larangan solat.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, melainkan sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Surah an-Nisaa’, 4: 43)

Apabila seseorang telah mandi, maka ia tidak dilarang untuk melakukan solat. Selain itu, mandi dan wudhu’ adalah dua ibadah yang sejenis, maka yang kecil masuk ke dalam yang besar. Sebagaimana Umrah masuk ke dalam Haji.

Dipetik dari: Ibnu Qudamah, al-Mughni, jil. 1, m/s. 366-367.

Sumber: Fiqh-Sunnah

14 July 2009

Ikhlas

- Gambar Hiasan -

Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907]).

Faedah hadits


Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)

Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).

Macam-macam niat


Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].

Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.

Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)

Pentingnya Ikhlas


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk : 2).

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, ”Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)

Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, ”Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, ”Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)

Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)

Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)

Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)

Sumber diambil daripada Belajar Bahasa Arab dan Diniyyah (Forum Diskusi) - Facebook

12 July 2009

Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Assalamualaikum wbt...

Berikut ini akan kami bawakan risalah yang berisi tanya-jawab dalam hal aqidah Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dengan mencermati karya beliau ini akan tampaklah bagi kita sebenarnya bagaimana aqidah [keyakinan] beliau yang mungkin bagi sebagian kalangan telah mendapatkan kesan negatif mengenai beliau. Silakan anda telaah dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita.

- Gambar Hiasan-

Tanya : Siapakah Rabbmu?
Jawab : Rabbku adalah Allah yang telah memeliharaku dan memelihara seluruh alam dengan segala nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Tanya : Apakah makna kata Rabb?
Jawab : Yang menguasai dan yang mengatur, dan hanya Dia (Allah) yang berhak untuk diibadahi

Tanya : Apa makna kata Allah?
Jawab : Yaitu yang memiliki sifat ketuhanan dan berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya

Tanya : Dengan apa kamu mengenal Rabbmu?
Jawab : Dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya

Tanya : Makhluk apakah yang terbesar yang bisa kamu lihat di antara makhluk ciptaan-Nya?
Jawab : Langit dan bumi

Tanya : Apakah ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang paling besar?
Jawab : Malam dan siang, matahari dan bulan

Tanya : Apakah dalil atas hal itu?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang dan mengikutinya dengan cepat, matahari dan bulan serta bintang-bintang semuanya ditundukkan dengan perintah-Nya. Ingatlah, sesungguhnya penciptaan dan pemberian perintah adalah hak-Nya, Maha berkah Allah Rabb seluruh alam.” (QS. al-A’raf : 54).

Tanya : Untuk apakah Allah menciptakan kita?
Jawab : Untuk beribadah kepada-Nya

Tanya : Apa yang dimaksud beribadah kepada-Nya?
Jawab : Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya

Tanya : Dalam hal apa kita menaati-Nya?
Jawab : Kita taati perintah-Nya dan kita jauhi segala yang dilarang-Nya kepada kita

Tanya : Apa dalil untuk hal itu?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56).

Tanya : Apa makna ’supaya mereka beribadah kepada-Ku’?
Jawab : Maknanya adalah agar mereka mentauhidkan Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan tauhid?
Jawab : Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah

Tanya : Apakah perkara terbesar yang dilarang Allah untuk kita?
Jawab : Perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain Allah [saja] atau berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada-Nya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’ : 36).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan ibadah?
Jawab : Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi

Tanya : Apa sajakah yang termasuk macam-macam ibadah?
Jawab : Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya adalah : doa, takut, harap, tawakal, roghbah (keinginan), rohbah (kekhawatiran), khusyu’, khas-yah (takut yang dilandasi ilmu), inabah (taubat), isti’anah (meminta pertolongan), isti’adzah (meminta perlindungan), istighotsah (meminta keselamatan dari bahaya), menyembelih, nadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Seluruh masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyeru bersama-Nya sesuatu pun.” (QS. al-Jin : 18).

Tanya : Apa hukum bagi orang yang mengalihkan ibadah kepada selain Allah?
Jawab : Orang yang melakukannya dihukumi musyrik dan kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru bersama Allah sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).

Tanya : Perkara apakah yang diwajibkan pertama kali oleh Allah kepada kita?
Jawab : Yaitu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan thaghut?
Jawab : Segala sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batas, yang berupa sesembahan, orang yang diikuti atau sosok yang ditaati, maka dia adalah thaghut

Tanya : Ada berapakah thaghut itu?
Jawab : Jumlah mereka banyak, namun pembesarnya ada lima : Iblis -semoga Allah melaknatnya-, orang yang diibadahi dan ridha dengan hal itu, orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 256).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)?
Jawab : Maksudnya adalah laa ilaha illallah

Tanya : Apa makna laa ilaha illallah?
Jawab : Laa ilaha adalah penolakan, sedangkan illallah adalah penetapan

Tanya : Apa yang ditolak dan apa yang ditetapkan?
Jawab : Aku menolak segala sesembahan selain Allah dan aku tetapkan bahwa seluruh jenis ibadah harus ditujukan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti menunjuki diriku. Dan Allah menjadikan kalimat itu tetap ada pada keturunannya (Ibrahim) semoga mereka mau kembali (kepada kebenaran).” (QS. az-Zukhruf : 26-28).

Tanya : Apakah agamamu?
Jawab : Agamaku Islam, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran : 19). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85).

Tanya : Ada berapakah rukun Islam?
Jawab : Ada lima; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke rumah Allah yang suci jika memiliki kemampuan.

Tanya : Apakah dalil syahadat laa ilaha illallah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dengan menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).

Tanya : Apakah dalil syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sekali-kali Muhammad itu bukanlah ayah salah seorang lelaki di antara kalian, namun dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).

Tanya : Apa makna syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi segala larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya

Tanya : Apakah dalil sholat, zakat serta tafsir dari tauhid?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan penuh ikhlas melakukan amal karena-Nya (tanpa disertai kesyirikan), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah : 5)

Tanya : Apakah dalil puasa?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).

Tanya : Apakah dalil haji?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wajib bagi umat manusia untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah karena Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97).

Tanya : Apakah pondasi ajaran dan kaidah dalam agama Islam?
Jawab : Ada dua perkara : [Pertama] adalah perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan memotivasi manusia untuk melakukannya, membangun loyalitas di atasnya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya (tidak beribadah kepada Allah). [Perkara Kedua] adalah memperingatkan manusia dari kesyirikan dalam hal ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap keras dalam hal itu (mengingkari syirik), membangun permusuhan di atasnya, dan mengakfirkan orang yang melakukannya (kemusyrikan).

Tanya : Ada berapakah rukun iman?
Jawab : Ada enam; yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan yang buruk

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bukanlah kebaikan itu kamu memalingkan wajahmu ke arah timur ataupun barat, akan tetapi yang disebut kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab, dan para nabi.” (QS. al-Baqarah : 177).

Tanya : Apakah dalil iman kepada takdir?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran/takdir.” (QS. al-Qamar : 49).

Tanya : Apa yang dimaksud ihsan?
Jawab : Ihsan terdiri dari satu rukun yaitu; kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan jika kamu tidak bisa maka yakinlah bahwa Dia senantiasa melihatmu

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. an-Nahl : 128).

Tanya : Siapakah Nabimu?
Jawab : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim, sedangkan Hasyim berasal dari keturunan Quraisy, Quraisy dari bangsa Arab, sedangkan Arab merupakan keturunan Nabi Ismail putra Ibrahim al-Khalil (kekasih Allah) semoga shalawat dan salam yang paling utama tercurah kepadanya dan kepada nabi kita.

Tanya : Berapakah umur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab : Enam puluh tiga tahun; empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi nabi dan dua puluh tiga tahun sebagai nabi dan rasul

Tanya : Dengan apakah beliau diangkat menjadi Nabi? Dan dengan apa diangkat sebagai rasul?
Jawab : Beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya Iqra’ dan diangkat sebagai rasul dengan turunnya al-Muddatstsir

Tanya : Di manakah negerinya?
Jawab : Beliau berasal dari Mekah lalu berhijrah ke Madinah, dan kemudian beliau wafat di sana -semoga shalawat dari Allah dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya- setelah Allah sempurnakan agama dengan mengutus beliau (beserta ajarannya).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan hijrah?
Jawab : Berpindah dari negeri syirik menunju negeri Islam, sementara hijrah itu tetap berlaku hingga tegaknya hari kiamat

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat itu dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Maka malaikat bertanya kepadanya; Di manakah dulu kalian berada? Mereka menjawab; Kami dulu berada dalam keadaan tertindas dan lemah di muka bumi. Mereka berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di atasnya? Mereka itulah orang-orang yang tempat kembalinya adalah neraka Jahannam dan sungguh neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 97).

Tanya : Apakah dalilnya dari Sunnah (Hadits)?
Jawab : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah terputus hijrah sampai taubat terputus, dan tidak akan terputus [kesempatan] bertaubat hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimi).

Tanya : Apakah Rasul masih hidup atau sudah mati?
Jawab : Beliau telah meninggal sedangkan agamanya masih tetap ada hingga hari kiamat tiba

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya kamu pasti mati dan mereka pun akan mati, kemudian nanti pada hari kiamat di sisi Rabb kalian maka kalian pun akan saling bermusuhan.” (QS. az-Zumar : 31).

Tanya : Apakah setelah mati manusia akan dibangkitkan?
Jawab : Iya, benar

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dari tanah itulah Kami ciptakan kalian dan kepadanya kalian Kami kembalikan, dan dari dalamnya Kami akan mengeluarkan kalian untuk kedua kalinya.” (QS. Thaha : 55).

Tanya : Apakah hukum orang yang mendustakan hari kebangkitan?
Jawab : Orang yang melakukan hal itu adalah kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan lagi, katakanlah; sekali-kali tidak, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan [di dunia], dan hal itu bagi Allah sangatlah mudah.” (QS. at-Taghabun : 7).

Diterjemahkan dari :
Maa yajibu ‘alal muslim ma’rifatu wal ‘amalu bihi
Oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah
Dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Alu Jarullah


Sumber Rujukan: Dakwah Tauhid

Islam, Iman & Ihsan

Assalamualaikum wbt...

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :

Pengertian Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah dengan syari’at-Nya sejak masa Allah mengutus para Rasul hingga tegaknya hari kiamat. Pengertian Islam inilah yang dimaksud oleh Allah dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu semuanya juga disebut berislam kepada Allah ‘azza wa jalla, seperti firman Allah yang menceritakan tentang Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang muslim kepada-Mu dan juga anak keturunan Kami sebagai umat yang muslim kepada-Mu.” (QS. Al-Baqarah : 128).
Adapun Islam dalam pengertian yang lebih khusus semenjak pengutusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hanya mencakup agama yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu disebabkan agama yang beliau ajarkan menjadi penghapus seluruh agama terdahulu. Sehingga siapa saja (orang sesudah beliau) yang mengikuti beliau menjadi orang muslim dan siapa saja yang menentang beliau maka dia bukanlah muslim. Maka para pengikut rasul terdahulu adalah orang muslim di masa rasul mereka. Orang Yahudi adalah kaum muslimin di masa Musa ‘alaihis salam. Begitu pula orang Nasrani adalah kaum muslimin di masa Isa ‘alaihis salam. Adapun ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus kemudian mereka mengingkari risalah beliau maka mereka bukan lagi kaum muslimin.

Agama Islam dalam pengertian inilah agama yang sekarang diterima di sisi Allah dan akan bermanfaat bagi pemeluknya. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-’Imraan : 19). Dan Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia akan termasuk golongan yang menderita kerugian.” (QS. Ali-’Imraan : 85). Seperti inilah keislaman yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atasmu. Dan Aku pun ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah : 3). (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21)





Islam Mencakupi Tiga Tingkatan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati dirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rasulullah bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?”. Maka Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan : Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anuti ini mencakupi tiga tingkatan; Islam, iman dan ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa Romadhon dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan : Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan : Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan Aku telah redha Islam menjadi agama kalian” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman.. (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Tingkatan Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan : Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu : menyembah Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21).

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan yang maknanya, bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain..(lihat At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 63).

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan : Kami telah beriman. Katakanlah : Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan : Kami telah berislam” (Al Hujuraat : 14). Dengan demikian, jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64).

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Selesai disusun ulang pada sore hari Ahad, 16 Dzulhijjah 1429 H

Dakwah Tauhid

07 July 2009

Akidah, Perpaduan Tonggak Kekuatan Islam Dalam Perjuangan

Assalamualaikum wbt...

OLEH : Yussamir Yusof
SUMBER : BERITA HARIAN, 6 July 2009

BANGSA Arab sebelum kedatangan Islam hidup dalam keadaan jahiliah. Kemudian Allah mengutuskan Nabi Muhammad SAW yang kelahirannya membawa sinar dan kegemilangan kepada seluruh umat manusia.

Firman Allah bermaksud: "Sebenarnya dia (Muhammad) datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul (sebelumnya)." (Surah Shaafaat, ayat 37)


Selepas kedatangan Nabi Muhammad SAW, bangsa Arab serta negara yang menerima Islam berjaya mencapai kegemilangan. Namun, sedikit demi sedikit kegemilangan itu direntap dan dihilangkan oleh umat Islam sendiri.

Sehinggalah pada abad ke-21 ini, Islam tidak lagi dipandang tinggi dan digeruni. Kini Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran. Malah, dilabel sebagai agama yang menggalakkan keganasan.

Wajah Islam yang dahulunya dihormati dan disenangi, dilukiskan dengan sebegitu teruk dewasa ini. Walaupun ada kesedaran di kalangan umat Islam mengenai hal itu tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya disebabkan umat Islam sudah meninggalkan Islam jauh di belakang.

Kekuatan umat Islam dulunya pernah menjadi mimpi buruk bagi mana-mana kerajaan yang mahu menyerang dan menakluk negara di bawah pemerintahan Islam sehinggakan pemerintah bukan Islam pernah tertanya-tanya apakah rahsia kekuatan umat Islam ini.

Selepas beberapa kali kalah di tangan orang Islam dalam beberapa siri peperangan, pemerintah Rom ketika itu, Maharaja Caesar memanggil panglimanya. Kemudian beliau bertanya kepada panglimanya: "Siapakah sebenar mereka yang kamu perangi itu? Bukankah mereka manusia seperti kamu juga?

Kemudian bangunlah seorang panglimanya dan menjawab: "Wahai tuanku, mereka adalah manusia seperti kami juga tetapi mereka bukan sembarangan manusia. Mereka adalah pendeta pada malam hari, dan pahlawan yang gagah berani pada siang hari. Mereka bersembahyang, berpuasa, tidak pernah meminum arak dan tidak berzina. Hatta, jika putera raja mereka sendiri yang mencuri, nescaya mereka akan memotong tangannya. Setiap seorang daripada mereka bercita-cita untuk mati sebelum saudaranya."

Umat Islam akan disegani dan dihormati jika mengikut ajaran Islam sebenar. Itulah rahsia yang selama ini orang bukan Islam tertanya-tanya iaitu di manakah letaknya kekuatan umat Islam. Kekuatan umat Islam ditafsirkan sebagai kekuatan keimanan terhadap akidah dan pelaksanaan syariat Islam dengan sebenarnya.

Daripada kekuatan akidah dan syariat itu, perpaduan juga menjadi batu asas kekuatan umat Islam sehinggakan tidak dapat digoncang sedikit pun. Akidah Islam yang teguh menjadikan umat Islam memiliki semangat persaudaraan yang erat.

Akidah yang teguh membentuk sikap bertanggungjawab terhadap Islam, sekali gus dapat mengatur strategi secara bersama dalam menghadapi musuh Islam. Kekuatan perpaduan umat Islam tidak seharusnya sekadar retorik, tetapi perlu dijelmakan melalui tindakan, tidak kira dalam apa juga lapangan.

Kekuatan perpaduan dan kerjasama yang pernah berlaku di kalangan umat Islam pada zaman Rasulullah SAW dapat digambarkan melalui hadis diriwayatkan daripada Abi Buraidah dan Abi Musa bahawa Rasulullah berkata: "Sesungguhnya kaum al-Asy'ariyyin apabila habis bekalan makanan mereka dalam peperangan atau kurang makanan keluarga mereka di Madinah, mereka himpunkan apa yang ada pada mereka dalam satu kain. Kemudian mereka membahagikan sama rata dalam satu bekas. Sesungguhnya mereka daripada kalangan mereka, dan mereka daripada kalanganku."

Syeikh Muhammad al-Mubarak ketika menghuraikan hadis itu berkata: "Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW memerangi assabiyah yang disebabkan oleh keturunan semata-mata, lalu menggantikannya dengan ikatan akidah dan prinsip. Namun, Baginda menganggap kaum Al-As'ariyin sebahagian daripada Baginda."

Ia disebabkan prinsip yang sama, iaitu saling menjamin dan bantu-membantu dalam harta. Juga membahagikan harta sesama sendiri dalam hal darurat dan keperluan. Sejarah banyak mencatatkan peristiwa peperangan yang berlaku umat Islam dan bukan Islam.

Dalam catatan itu semuanya menceritakan bahawa kekuatan umat Islam digemblengkan dan dibangkitkan oleh Islam. Malah, kerajaan bukan Islam yang mahu menakluk negara Islam berasa menyesal dan mengakui akan kekuatan umat Islam.

Seorang pengkaji sejarah Perancis bernama Collit ketika mengulas kejayaan umat Islam mempertahankan al-Jazair (al-Jazair ialah ibu negara Algeria. Bandar terbesar di Algeria ini adalah bandar kedua terbesar di Afrika Utara selepas Casablanca di Maghribi) dari Perancis berkata: "Islam adalah unsur positif yang berjaya mendorong orang Islam al-Jaza'ir ke arah menuntut kemerdekaan.

"Mereka dari mula sudah sedar bahawa penjajahan Perancis ke atas negara mereka bermaksud untuk menghapuskan Islam. Oleh itu, mereka berasakan perlunya berpegang teguh dengan Islam, sehingga hal ini berjaya membuatkan mereka memperoleh kemerdekaan dari Perancis."

Perdana Menteri Jordan, Saad Jumaa dalam bukunya bertajuk Allah Aw al-Dimar, memetik ucapan seorang Bishop: "Sesungguhnya rahsia kekuatan luar biasa yang berjaya dizahirkan Islam merujuk kepada kejayaan agama ini mengesan kewujudan Allah dan iradat-Nya yang maha Tinggi. Serta kekuasaan-Nya yang mutlak ke atas alam ini, yang tersembunyi di dalam keesaan-Nya."

Misteri Wahhabi Di Malaysia

Assalamualaikum wbt...

Oleh Dr Mohd Asri Zainul Abidin
SUMBER : Mingguan Malaysia, 5 Julai 2009

Perkataan ‘wahhabi’ dalam penulisan Barat mempunyai berbagai huraian. Kesemuanya menjurus kepada aliran Islam yang dilihat begitu berpegang kepada nas-nas al-Quran dan al-Sunnah secara literal dan enggan melihat tafsiran yang lebih moden atau tafsiran yang agak ‘western influence’. Clinton Bennet memasukkan ‘wahhabis’ dan deobandis dibawah kelompok ‘traditionalists’ yang bererti sekaligus berada di bawah aliran ‘fundamentalist’ (lihat: Muslim and Modernity 18-20, London: Continuum).

Sebahagian penulisan Barat melihat wahhabi sebagai aliran yang menganggap ‘hanya Islam agama yang benar’, wajib menegakkan ‘Islamic State’, adanya ‘jihad’ menentang kuffar dan lain-lain ciri-ciri yang dianggap unsur ‘padang pasir’ sekaligus cuba dikaitkan dengan terrorism.



Di Malaysia pula, perkataan ‘wahhabi’ adalah perkataan misteri. Apa tidaknya, ramai yang menyebutnya atau menfitnah orang lain dengan menggunakan perkataan itu, padahal mereka pun tidak faham. Bagi mereka, itu adalah senjata untuk mempertahankan diri ketika dikritik. Saya masih ingat, di satu tempat di sebelah Utara, apabila ada imam yang mengenakan bayaran untuk solat dan zikirnya, lalu dia dikritik atas sikap salahguna agama untuk kepentingan diri, dengan mudah dia menjawab: “siapa tak setuju dengan saya dia wahhabi”. Pemberi nasihat yang barangkali tidak terdedah kepada banyak maklumat dan kali pertama mendengar perkataan itu, terpinga-pinga bertanya: “apa itu wahhabi?”. Jawab tok imam: “Siapa yang mengkritik ustaz dia wahhabi”. Maka tidaklah berani lagi ‘penasihat’ itu berbeza pandangan dengan ‘tok imam’ dan mempertikaikan ‘infallibility’ ustaz, takut jadi wahhabi.


- Gambar Hiasan -

Di sesetengah tempat seseorang dituduh wahhabi kerana menentang amalan-amalan khurafat. Umpamanya, menggantung gambar orang tertentu seperti sultan atau tok guru dengan kepercayaan boleh menambah untung atau rezeki, atau mengikat benang hitam di tangan bayi yang baru lahir atas kepercayaan menolak sial atau bala dan berbagai kekarutan yang menghantui sebahagian masyarakat. Malangnya amalan-amalan ini bukan sahaja mendapat restu sesetengah yang bergelar ‘ustaz’, bahkan merekalah punca. Jika ada yang mengkritik, untuk mempertahankan diri maka ‘sang ustaz’ itu dengan mudahnya akan menyebut: ‘awak wahhabi’.

Sama juga, mereka yang tidak bersetuju dengan kenduri arwah dituduh wahhabi. Padahal kitab melayu lama Bughyah al-Talab karangan Syeikh Daud al-Fatani sendiri menyebut: “(dan makruh) lagi bid’ah bagi orang yang kematian membuat makanan menserukan segala manusia atas memakan dia sama ada dahulu daripada menanam dia dan kemudian daripadanya seperti yang diadatkan kebanyakan manusia (dan demikian lagi) makruh lagi bid’ah bagi segala yang diserukan dia memperkenankan seruannya”. Jika pun mereka tidak dapat menerima bahan mereka sendir, mengapa mereka merasa diri infallible, dan mengharamkan orang lain berbeza dengan mereka dengan menggunakan senjata ‘awak wahhabi’.

Sesetengah kelompok agama pula, mereka membaca dan menyebarkan riwayat-riwayat yang tertolak; seperti Israliyyat yang bercanggah dengan nas-nas Islam, hadis-hadis palsu atau kisah-kisah wali atau sufi yang menjadikan manusia keliru tentang keanggunan Islam. Mereka menyebarkannya dalam ceramah dan sesetengahnya menjadikannya modal untuk ‘bisnes’ mereka. Islam menjadi kabur dengan cerita-cerita itu dan menyebabkan agama agung ini kelihatan bagaikan ‘kartun’ dan ‘lucu’. Jika ada yang menegur para penceramah ini; jawapannya ‘awak wahhabi’. Walaupun yang menegur itu tidak pernah pun membaca buku Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.

Lebih buruk lagi apabila isu wahhabi digunakan oleh pihak berkuasa agama. Jika ramai pegawai agama itu atau yang sealiran dengan mereka bertarekat, atau pembaca hadis-hadis palsu dan lucu, maka mana-mana sahaja guru yang mengajar al-Quran dan hadis sahih serta tidak bersetuju dengan kekeliruan itu akan disenaraikan sebagai wahhabi dan diharamkan mengajar di masjid dan surau. Nama sultan akan digunakan.

Dalam masa yang sama mereka membiarkan kemungkaran yang jelas di sana sini, lalu sibukkan diri dengan kelompok revivalist yang tidak mengancam masyarakat sama sekali. Jika ada pun, ancaman itu kepada pemikiran kejumudan dan kekolotan, bukan kepada masyarakat. Untuk menjustifikasikan kesibukan mereka dengan kelompok ini sehingga meninggalkan kemungkaran hakiki, mereka kata: “ini lebih bahaya kerana wahhabi”. Apa itu wahhabi? Jawab mereka wahhabi itu wahhabi! Sikap ini menjadi lebih panas apabila munculnya di Malaysia ‘aliran pengkafir umat’ yang bernama Ahbash yang bersekongkol dengan sesetengah pihak agama.

Di peringkat yang lebih tinggi, istilah wahhabi dikenakan kepada mereka yang tidak terikat dengan mazhab al-Syafi’i. Kononnya, mereka yang tidak ikut mazhab itu wahhabi. Saya telah sebut nas-nas ulama tentang hal ini dalam artikel-artikel yang lepas.

Persis seperti yang disebut oleh Dr al-Qaradawi:

“Golongan yang taksub ini tidak membolehkan sesiapa yang mengikut sesuatu mazhab keluar daripadanya, sekalipun dalam beberapa masalah yang jelas kepada pengikut mazhab bahawa dalil mazhabnya lemah. Sehingga mereka menyifatkan sesiapa yang keluar mazhab sebagai tidak berpendirian. Perbuatan ini sebenarnya mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah swt” (Dr. Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bain al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq al-Mazmum , m.s 202, Kaherah: Dar al-Sahwah).

Apa yang menariknya di Malaysia, sesetengah ‘mereka ini’ apabila menjadi ‘penasihat-penasihat’ bank, bagi memenuhi keperluan bank-bank yang beroperasi atas nama Islam itu, mereka bersetuju pula dengan pandangan-pandangan hukum yang diambil tanpa mengikut mazhab. Bahkan pandangan Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah r.h begitu banyak diambil dalam masalah muamalat ini. Ini kerana, di seluruh dunia pandangan-pandangan beliau memang dikutip dalam memajukan masyarakat Islam. Padahal ‘sesetengah mereka ini’ di luar mesyuarat bank yang ber‘elaun’ itu, mereka menuduh Ibn Taimiyyah wahhabi, dan sesiapa yang bersetuju dengan Ibn Taimiyyah sebagai ‘wahhabi’. Bahkan di luar bank mereka bersekongkol dengan golongan yang mengkafirkan atau menyesatkan Ibn Taimiyyah.

Demikian ketika saya menjadi mufti dahulu, apabila saya memberikan padangan larangan mengintip (tajassus), boleh menjawab salam bukan muslim, wajib membinkan kepada bapa asal sekalipun bapanya bukan muslim, masjid untuk kaum cina, keluasan menerima pandangan dan lain-lain lagi, maka pandangan-pandangan ini dituduh oleh sesetengah pihak agama sebagai wahhabi. Padahal pandangan tersebut jika dibincangkan di Barat dianggap dalam aliran modernism atau rationalism dan penentangnya mungkin akan dimasukkan kepada kelompok wahhabism.

Di Malaysia, sebaliknya, yang terbuka itu wahhabi dan sesat, yang tertutup itulah yang ‘membolot segala kebenaran’. Cara fikir beginilah yang menguasai sektor-sektor agama kerajaan dan mencepatkan ‘pereputan’ kekuatan kerajaan yang ada. Cara fikir begini jugalah yang menguasai sesetengah aliran agama dalam pembangkang. Sebab itu barangkali, lima puluh tahun kemerdekaan, bukan muslim bukan sahaja tidak bertambah faham, sebaliknya bertambah keliru dan tegang mengenai Islam.

Tindakan mereka ini mengingatkan saya kepada artikel David Brubaker bertajuk Fundamentalisn vs Modernism: A Consideration of Causal Conditions bahawa penentangan terhadap pembaharuan lebih merujuk kepada masalah survival kelompok. Dalam usaha untuk hidup dan terus mendapat tempat dalam masyarakat dan kerajaan maka golongan pembaharuan akan ditentang. Bagi saya, bukan isu wahhabi sebenarnya, tetapi bimbang terpinggirnya tempat dan kedudukan. Namun, apabila mereka merasa ada ruangan untuk mendapat ‘kedudukan’ seperti isu perbankan tadi, mereka dapat pula menerima pandangan yang berbeza tanpa menuduh bank yang memberi elaun bulanan dan elaun mensyuarat itu sebagai ‘bank mazhab wahhabi’.

David Brubaker menyebut untuk survival mereka terpaksa memilih antara dua ‘occomodation or resistance’. Maka, di Malaysia ramai yang dituduh wahhabi, namun ia adalah tuduhan misteri. Saya juga tidak menafikan ada yang dianggap wahhabi itu sendiri perlu bertolak ansur dalam sebahagian pendapat. Namun, untuk menuduh orang lain wahhabi hanya kerana perbezaan pendapat, itu adalah sikap jakun yang cuba hidup di zaman globalisasi.

Ayat Al-Quran Dalam Kad Kahwin

Assalamualaikum wbt...

Berikut adalah mengenai pertanyaan mengenai ayat Al-Quran yand terdapat di dalam kad jemputan kahwin pada kebiasaan yang dilakukan pada masa kini. Persoalannya harus atau tidak menulis ayat Al-Quran pada kad jemputan tersebut. Sumber ini diambil daripada laman web Al-Ahkam.net. Semoga ianya bermanfaat dan boleh dijadikan rujukan. Allahu'alam.


- Gambar Hiasan -

Soalan:

salam

Saya perlukan jawapan dgn kadar secepat mungkin kerana hendak cetak kad kahwin hujung minggu ni. Boleh tak tulis ayat quran yg sesuai dgn majlis kahwin dalam kad kahwin???

Jika tidak boleh , boleh tak saya tulis terjemahannya shj?

Jawapan:

بسم الله
والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد


Pernah diajukan soalan kepada Syeikh Bin Baz:

Soalan: Adakah harus menulis Bismillah pada kad jemputan kahwin, memandangkan ia kadang-kadang dibuang di jalanan atau dalam tempat buangan sampah?

Jawapan: Menulis Bismillah pada kad-kad tersebut atau lain-lain seperti surat, adalah suatu yang masyruk (digalakkan). Kerana baginda SAW memulakan surat-surat baginda dengan Bismillah. Dan tidak harus bagi sesiapa yang menerima kad yang terdapat nama Allah atau ayat Quran membuangnya ke dalam tempat pembuangan sampah atau tempat yang tidak dihormati.

Kata beliau lagi: Jika berlaku yang demikian, maka dosanya ke atas pelaku (yang membuangnya). Adapun orang yang menulisnya, dia tidak berdosa.

Rujukan:
- Fatawa Islamiyyah (hlmn: 507)

Sumber: Al-Ahkam.net

Akad Nikah Diwakilkan

Assalamualaikum wbt...

Berikut adalah mengenai pertanyaan mengenai akad nikah yang dilakukan ketika pasangan yang ingin mendirikan rumahtangga berada di luar negara. Sumber ini diambil daripada laman web Al-Ahkam.net. Semoga ianya bermanfaat dan boleh dijadikan rujukan. Allahu'alam.



- Gambar Hiasan-

Soalan:

Saya nak tanya satu peristiwa yg telah berlaku di satu tempat di Johor, bilamana satu majlis perkahwinan dimana akad nikah dilakukan di malaysia, tetapi pasangan pengantin lelaki & perempuan, dalam pada waktu yang sama berada diluar negara. Minta penjelasan daripada Ustaz. 



Jawapan:


Para ulama Islam memutuskan bahawa hukum perwakilan dalam akad nikah pada ijab dan qabul adalah sah dan harus. Kerana nabi s.a.w. pernah mewakilkan Amru bin Umayyah dan Aba Rafi’ menerima (qabul) nikahnya. Dan jua kerana hajat kepada demikian, kemungkinan ia perlu kepada perkahwinan daripada jarak jauh yang sukar untuk musafir.

(Al-Makmuj 14/97 dan Al-Mughni 10/254)

Dalam hadis kisah perwakilan Abu Rafi, al-Shawkani berkata:

وفيه دليل على جواز التوكيل في عقد النكاح من الزوج


“Dan padanya dalil menunjukkan harus perwakilan dalam akad nikah daripada pihak lelaki.”

Rujuk Nayl Al-Awtar, Kitab Al-Wakalah, Bab Ma Yajuz Al-Tawkil Fihi Minal Uqud

Wallahualam

Sumber: Al-Ahkam.net

Sunnah Pelihara Ketulenan Akidah

Assalamualaikum wbt...

Mengapakah pentingnya isu akidah ini sehingga menyebabkan setiap negara yang berasaskan pegangan atau manhaj yang sahih pasti mementingkan soal akidah. Negara Islam tanpa akidah yang kukuh yang bersandarkan kepada 3 asas utama iaitu tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma' wa sifat akan menggoyangkan sistem pentadbiran Islam dan akan merobek ketulenan akidah Islam dan sunnah nabi shallallahu 'alaihi wassalam.

Justeru, kepentingan akidah ini penting agar ianya dapat memelihara sunnah nabi shallallahu 'alaihi wassalam di samping ianya menjadi tunjang kepada mendekatkan hati kita kepada Allah dan Rasul. Oleh yang demikian, artikel di bawah diletakkan pada entry kali ini untuk menekankan tentang kepentingan akidah dalam memelihara sunnah nabi shallallahu 'alaihi wassalam.

Sunnah Pelihara Ketulenan Akidah

Oleh DR. SAODAH ABD. RAHMAH

MAJORITI umat Islam Malaysia berfahaman Ahli Sunah wal-Jamaah (Sunnah). Terdapat tiga perkara utama yang sering dibicara dan dikaji oleh para sarjana Islam apabila membicarakan ehwal ilmu wahyu.


Pertama, akidah Islam berhubung kepercayaan dan keyakinan terhadap Rukun Islam dan Rukun Iman.

Kedua, kaitan dengan syariah yang mempunyai kaitan dengan amalan ritual dan urusan kehidupan umat Islam. Dalam setiap aspek hidup merangkumi perundangan, perekonomian (perniagaan, pinjaman dan gadaian), kepimpinan dan pentadbiran, pusaka, perkahwinan, jenayah, dan kaffarah.

Ketiga ialah akhlak yang berkaitan dengan keperibadian dan hubungan umat Islam sesama umat dan hubungan mereka dengan masyarakat bukan Islam dan makhluk.

Perkara berkaitan dengan akidah ialah asas kepada penentuan bahawa seseorang itu Islam atau bukan Islam. Ia membicarakan tentang bagaimana seseorang itu mempercayai Allah SWT.

Adakah Allah yang dipercayai itu Tuhan Yang Maha Esa dalam konteks ketulenan keesaan Allah (pure monotheism) atau tanzih atau kesempurnaan Allah di mana tidak ada perantaraan Allah dengan manusia (perfection of God)?

Konsep ketulenan keesaan Allah dan kesempurnaan Allah menjadikan Islam berbeza dengan agama-agama lain.

Konsep tiada tolak ansur (uncompromising) berkaitan akidah dan ritual merupakan perkara fundamental Islam.

Jika agama-agama lain boleh bersatu dan bertolak ansur dalam urusan menyembah Allah, maka Islam tidak begitu kerana perbezaan memahami konsep ketuhanan itu menyebabkan cara penyembahan Tuhan juga berbeza.

Permintaan berkompromi masyarakat bukan Islam dengan Islam dalam perkara ini telahpun wujud semasa zaman Rasulullah SAW lagi. Mereka meminta Rasulullah dan umat Islam bertolak-ansur dalam menyembah Allah SWT. Ini bermakna, setahun menyembah Allah seperti masyarakat bukan Islam dan setahun lagi menyembah Allah seperti Islam.

Permintaan itu ditolak oleh Rasulullah berdasarkan wahyu dalam Surah Al-Kafirun: Katakanlah wahai Muhammad: Hai orang-orang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak mahu menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan beribadat secara kamu beribadat. Dan kamu pula tidak mahu beribadat secara aku beribadat. Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.

Ia bukan bererti Islam meminggirkan masyarakat bukan Islam. Ia hanya menegaskan bahawa perkara berkaitan dengan ibadah dan asas Islam tidak boleh dicampuradukkan dengan akidah bukan Islam. Perkara ini perlu difahami oleh masyarakat Islam dan dihormati oleh masyarakat bukan Islam.

Ahli Sunah amat prihatin terhadap ketulenan akidah Islam kerana ia boleh menentukan seseorang itu masih berada dalam Islam atau tersasar. Ia adalah cara untuk menyelamatkan umat Islam daripada ajaran atau doktrin yang sesa t.

Akidah adalah penting untuk menentukan setiap amalan diterima oleh Allah SWT. Jika akidah terpesong daripada garis panduan Allah dan Rasul terutamanya berkaitan Rukun Islam dan Rukun Iman, maka kedudukan seseorang itu sebagai umat Islam akan tergugat.

Ahli Sunah menyedari bahawa akidah Islam sering digugat oleh pelbagai kegiatan dan usaha oleh golongan-golongan tertentu sejak sekian lama.

Kegiatan untuk menyatukan agama adalah antara usaha untuk memesongkan akidah Islam. Ulama Ahli Sunah tidak dapat berkompromi dalam perkara ini kerana sikap tolak-ansur dalam hal ehwal berkaitan akidah boleh menyebabkan agama Islam hilang identitinya.

Usaha dan kegigihan para ahli teologi Ahli Sunah memelihara ketulenan merupakan faktor yang menyebabkan akidah Islam terpelihara daripada doktrin atau ideologi yang bertentangan dengan konsep "Tuhan Yang Maha Esa".

Akidah Islam yang dipertahankan itu tidak tercemar oleh ideologi politik yang didokong oleh mana-mana parti politik umat Islam.

Pemahaman akidah Islam di bawah pengawasan Ahli Sunah adalah jelas dan tidak ada unsur pengurangan dan penambahan terhadap Rukun Islam dan Rukun Iman jika dibandingkan dengan umat bermazhab lain.

Perbezaan ideologi politik yang dianuti oleh umat Islam tidak akan memberi kesan kepada akidah di kalangan Ahli Sunah.

Ini disebabkan perkara-perkara berkaitan dengan politik dan perbezaan corak pemikiran umat Islam dalam menentukan sistem pemerintahan dan kepimpinan adalah termasuk dalam perbahasan syariah bukan dalam aspek akidah.

Jika perkara-perkara berkaitan dengan politik dimasukkan ke dalam perbahasan akidah Islam maka akidah itu akan tercemar dan pelbagai bentuk bidaah dan khurafat akan menjadi amalan umat Islam.

Ahli Sunah tidak menggabungkan pemahaman politik berkaitan dengan konsep imamiyyah (kepimpinan), taqiyya (penyamaran untuk mengelakkan sebarang bahaya) dan raj'a (kembali selepas mati sebelum hari kiamat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan) berbanding akidah Islam seperti diamalkan oleh fahaman Syiah.

Kumpulan Syiah menjadikan ideologi politik sebagai doktrin terutama berkaitan dengan konsep imamiyyah tersebut. Sebahagian daripada Syiah mempercayai bahawa seseorang yang mati tanpa mengetahui imam (pemimpin) semasanya maka beliau mati dalam keadaan jahiliah.

Ahli Sunah lebih menumpukan perhatian kepada perkara berkaitan dengan Rukun Islam dan Rukun Iman untuk menentukan seseorang itu Muslim atau kafir dan bukannya berdasarkan kepada pemikiran yang taksub kepada pemimpin politik.

Pergolakan politik sesama umat Islam merupakan proses penentuan kepimpinan umat Islam dan ia tidak mempunyai kaitan dengan aspek akidah. Oleh itu Ahli Sunah menolak doktrin Syiah yang mengkafirkan Aisyah (isteri Rasulullah SAW), Abu Bakar As-Siddiq, Umar al-Khattab, Uthman Affan dan Mu'awiyyah kerana tidak melantik Saidina Ali Abu Talib sebagai khalifah selepas kematian Rasulullah SAW.

Kumpulan Syiah telah mencampuradukkan ideologi politik dengan akidah Islam sehingga menyebabkan mereka sanggup mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW dan isteri Baginda lantaran terlalu taksub kepada 'parti Ali'.

Sedangkan Saidina Ali sendiri tidak pernah beranggapan seperti itu. Malah beliau sendiri menentang ideologi sekumpulan ahli 'partinya' yang dikenali sebagai Khawarij dan menghukum Mu'awiyyah sebagai kafir.

Saidina Ali secara tegas menyatakan kritikan beliau terhadap Mu'awaiyyah tetapi bukan mengkafirkannya. Ali hanya menentang Mu'awiyyah dalam perkara-perkara yang tidak bertepatan dengan prinsip kepimpinan dan pentadbiran Islam.

Saidina Ali tidak pernah meminta pengikut taksub kepadanya sehingga sanggup mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW.

Malah seorang anak Ali, Muhammad Ibn Hanafiyyah sendiri menolak ideologi Syiah berkaitan dengan konsep imam dan al-Mahdi yang dipegang oleh Syiah. Beliau ialah anak Ali bersama seorang wanita bernama Hanafiyyah yang dikahwini selepas kematian Saidatina Fatimah. Beliaulah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh Syiah.

Jika akidah Islam digabungkan dengan sentimen ideologi politik maka pelbagai kegiatan bidaah akan dianuti oleh umat Islam.

Kumpulan Kaysaniyyah dari Syiah menjadikan unsur mencederakan diri seperti mengantuk kepala ke dinding dan menepuk dada dan meraung-raung kesedihan sebagai tradisi ketika menyambut 10 Muharam (Hari Asyura). Ia diraikan setiap tahun sempena memperingati kematian Saidina Hussein a.s di Karbala. Ia sebagai menyatakan kekesalan kerana tidak membantu Hussein menentang Khalifah Yazid dalam peperangan itu. Bagaimanapun tradisi tersebut ternyata bertentangan dengan syariah dan akidah Islam.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka umat Islam di negara ini sepatutnya mengikut ajaran Ahli Sunah supaya akidah dan amalan seharian tidak bertentangan dengan konteks ajaran Islam yang sebenarnya.

PENULIS ialah Pensyarah Kanan
Jabatan Usuluddin dan Perbandingan Agama,
Universiti Islam Antarabangsa Malaysia

Sumber: Utusan Online

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More